Esai oleh Luhur Susilo – SMPN 1 Sambong & Pengurus Satupena Blora
Di tengah bayang pandemi yang perlahan surut, Desa Kentong membentangkan lembaran baru dalam sejarah pembangunannya. Sebuah kantor sederhana berdiri di bekas lapangan desa—bukan sekadar bangunan beton, melainkan simbol harapan yang ditegakkan dari reruntuhan keraguan. Ia lahir dari rencana yang tertunda, tertahan oleh refocusing anggaran, namun tidak pernah kehilangan arah.
BUMDes Kentong adalah wujud tekad yang disemai dengan kesabaran. Di bawah komando Kades H. Muntahar dan peran pengawas seperti Kustowo, S.Pd, serta Direktur BUMDes Bambang Wahyudi, desa ini tak sekadar membangun fisik, tapi juga membangun semangat kolektif. Ketika banyak desa masih terjaga dalam mimpi pembangunan, Kentong telah memilih untuk bangun lebih pagi—menanam hari ini, agar tak lapar besok.
Fokus pada sektor pertanian adalah pilihan yang membumi sekaligus strategis. Desa yang mengenal musim, padi, dan peluh sawah tahu benar bahwa ketahanan pangan adalah soal ketahanan hidup. Karena itu, BUMDes Kentong tak hanya bicara pupuk atau cangkul, tapi juga menyentuh lapisan lebih dalam: perlindungan, pembiayaan, dan keberlanjutan.
Program “Gemar Menanam Antirugi” menjadi wajah konkret dari semangat itu. Bersinergi dengan PT Antam dan dukungan Departemen Pertanian, program ini tidak sekadar memberi permodalan 12-15 juta per-musim per-hektare, tetapi juga menumbuhkan keberanian petani menjadi mandiri. Tahun pertama dibantu, tahun kedua berdiri sendiri. Begitulah harapan tumbuh—dilatih, bukan dimanjakan.
Koperasi Merah Putih menjadi sahabat perjalanan yang menguatkan langkah BUMDes. Kolaborasi ini bukan soal bagi hasil semata, melainkan soal membangun ekosistem kepercayaan, gotong royong, dan keberdayaan. Desa yang kuat adalah desa yang mampu berdialog dengan potensi dan tantangan, bukan yang sekadar menunggu bantuan dari langit.
Lauching BUMDes Kentong pada Senin, 14 Juli 2025, bukan hanya seremoni. Ia adalah momen peneguhan bahwa desa punya daya, dan harus punya cara. Di tengah arus global yang tak menentu, desa menjadi jangkar identitas dan sumber ketahanan nasional. BUMDes hadir sebagai sarana memperkuat akar itu.
Lebih dari sekadar unit usaha, BUMDes adalah perpanjangan cita-cita bersama. Ia menampung aspirasi, membungkusnya dalam strategi, dan mewujudkannya dalam program yang menyentuh langsung kehidupan warga. Dari urusan air bersih, listrik desa, hingga pengelolaan pertanian dan lumbung pangan—semua menjadi bukti bahwa desa bukan sekadar objek pembangunan, tapi subjek yang membangun.
Tujuan-tujuannya menjelma menjadi harapan-harapan nyata: peningkatan kesejahteraan, pelayanan publik yang layak, potensi desa yang tergarap, ekonomi yang mandiri, dan kualitas sumber daya manusia yang terus naik kelas. Semuanya terangkum dalam satu kata: kemandirian.
Refleksi dari BUMDes Kentong adalah ajakan untuk percaya pada desa. Bahwa pembangunan tidak selalu harus datang dari pusat kekuasaan, tapi bisa bermula dari jerih payah warga yang percaya pada tanah kelahirannya. Ketika desa bangkit, Indonesia berdiri lebih tegak.
BUMDes bukan sekadar lembaga. Ia adalah denyut nadi desa yang ingin hidup lebih bermartabat. Dari Kentong kita belajar: ketahanan bukan sekadar bertahan, tapi berdaya, berani, dan berbuat. Dan di balik setiap papan nama kantor BUMDes, ada sejuta harapan yang sedang tumbuh—dengan akar yang mengakar dalam, dan pucuk yang merindukan langit.
Rumah Tua, 15 Juli 2025