Oleh Gunawan Trihantoro
Sekretaris Komunitas Puisi Esai Jawa Tengah dan Ketua Satupena Blora
Penetapan tanggal 17 Oktober sebagai Hari Kebudayaan Nasional oleh Menteri Kebudayaan Republik Indonesia, Fadli Zon, adalah langkah yang pantas kita sambut dengan penuh kegembiraan.
Bukan hanya soal menambah tanggal penting di kalender nasional, tetapi lebih dari itu, inisiatif ini membuka ruang kontemplasi bagi kita semua tentang siapa diri kita sebenarnya sebagai bangsa yang lahir dari ragam budaya.
Dalam konteks ini, kebijakan tersebut sesungguhnya hadir bukan semata sebagai seremoni simbolik, melainkan sebagai upaya transformatif untuk menggugah kesadaran kolektif akan pentingnya kebudayaan sebagai ruh kehidupan berbangsa.
Kita hidup di tengah era globalisasi, ketika budaya luar begitu mudah merasuki keseharian kita, baik melalui media sosial, musik, gaya hidup, hingga pola pikir.
Sering kali, tanpa disadari, warisan budaya sendiri justru terpinggirkan atau dianggap kuno oleh generasi muda.
Penetapan Hari Kebudayaan di tanggal 17 Oktober menjadi momentum untuk merefleksikan kembali bahwa budaya adalah identitas, penanda keberadaan kita di antara bangsa-bangsa lain.
Lebih dari sekadar tari-tarian, batik, atau bahasa daerah, budaya mencakup nilai, etika, filosofi hidup, dan cara kita memaknai dunia.
Ketika Fadli Zon menekankan pentingnya Hari Kebudayaan, pesan yang ia sampaikan sejatinya bukan sekadar melestarikan, tetapi juga memodernisasi dan mentransformasikan kebudayaan agar tetap relevan di masa kini dan masa depan.
Kebijakan ini juga selaras dengan amanat UUD 1945 yang menggariskan bahwa negara berkewajiban memajukan kebudayaan nasional di tengah peradaban dunia.
Kebudayaan bukan hanya ornamen, melainkan daya hidup dan sumber inspirasi bangsa.
Kita sebagai masyarakat tentu harus menyambut baik dan mendukung penuh kebijakan ini, tidak hanya melalui seremoni peringatan setiap tahun, tetapi juga melalui tindakan nyata.
Misalnya, dengan memperkenalkan kesenian daerah kepada anak-anak, menghidupkan kembali tradisi lokal yang hampir punah, atau sekadar menggunakan produk budaya sendiri dalam kehidupan sehari-hari.
Lebih penting lagi, Hari Kebudayaan dapat menjadi pemicu untuk memperkuat riset kebudayaan, mengarsipkan naskah-naskah kuno, serta mendigitalisasi karya seni tradisi agar dapat diakses generasi mendatang.
Tantangan terbesar kita hari ini adalah menjaga agar kebudayaan tidak menjadi barang museum: indah, tetapi mati.
Sebaliknya, kebudayaan harus menjadi sumber daya yang dinamis, bisa menggerakkan ekonomi kreatif, membuka lapangan kerja, dan menjadi landasan pembangunan yang berkelanjutan.
Langkah Fadli Zon, yang juga dikenal sebagai sastrawan dan pegiat budaya, memberi teladan penting, bahwa politik dan kebudayaan bukan dua entitas yang terpisah.
Justru keduanya bisa saling menguatkan, bahwa politik sebagai alat untuk melindungi dan memajukan kebudayaan, sementara kebudayaan memberi arah dan makna bagi kebijakan politik.
Hari Kebudayaan juga dapat menjadi ruang dialog antarbudaya di Indonesia yang sangat majemuk, memperkuat semangat toleransi, solidaritas, dan saling menghormati perbedaan.
Di tengah arus radikalisme dan politik identitas yang kerap memecah belah, budaya dapat menjadi perekat yang menyatukan kita sebagai bangsa.
Oleh karena itu, kita patut mengapresiasi dan mendukung langkah ini sebagai bentuk tanggung jawab bersama dalam memuliakan warisan leluhur kita.
Dengan Hari Kebudayaan, kita punya kesempatan untuk membangun kesadaran kolektif, bahwa bangsa besar adalah bangsa yang tidak pernah tercerabut dari akar budayanya sendiri.
Sebagai masyarakat, mari kita jadikan tanggal 17 Oktober bukan hanya tanggal merah di kalender, tetapi hari yang betul-betul diisi dengan refleksi, edukasi, dan aksi nyata.
Karena pada akhirnya, mencintai budaya sendiri adalah mencintai masa depan bangsa.
Langkah kecil yang dimulai hari ini dapat menjadi pijakan besar bagi anak cucu kita kelak.
Dengan demikian, penetapan Hari Kebudayaan bukan hanya sebuah keputusan administratif, tetapi tonggak penting dalam perjalanan bangsa menuju kematangan dan kejayaan yang berakar pada jati diri sendiri.
Semoga inisiatif ini terus kita rawat dan kita hidupkan, demi Indonesia yang berbudaya, berdaya, dan bermartabat di mata dunia. (*)