Oleh Luhur Susilo
Indonesia bukanlah negara yang seragam. Kita hidup di tengah keberagaman ras, suku, agama, budaya, hingga bahasa yang begitu kaya dan dinamis. Justru dalam keberagaman inilah, bangsa ini menemukan identitas dan kekuatannya.
Perbedaan bukan alasan untuk mencurigai atau menjauhkan. Ia adalah ruang belajar untuk saling menghargai, memahami, dan menjaga harmoni dalam kebersamaan. Dari perbedaan kita diajak merenung: bagaimana harapan yang berbeda-beda bisa dijahit menjadi satu benang emas persatuan?
Jawabannya adalah solidaritas. Harapan bersama lahir ketika kita berhenti mempersoalkan perbedaan, lalu mulai membangun jembatan melalui kerja sama. Pendidikan adalah jembatan paling kokoh untuk menyatukan harapan itu.
Pendidikan inklusif adalah pendekatan yang mengakui bahwa setiap anak, siapa pun dia dan dari mana pun asalnya, memiliki hak yang sama untuk mengakses pembelajaran yang bermakna. Tak boleh ada anak yang terpinggirkan hanya karena faktor ekonomi, disabilitas, wilayah terpencil, atau kondisi sosial lainnya.
Pendidikan tak boleh menjadi menara gading yang hanya dapat dijangkau oleh mereka yang punya akses dan privilese. Ia harus turun ke bumi—mendekap yang terlemah, mengangkat yang tertinggal.
“Tuhan, jika pendidikan adalah cahaya, mengapa banyak anak di dusun, di lorong-lorong kota, atau di sudut perbatasan dibiarkan dalam gelap begitu lama? Bukankah mereka juga pantas bermimpi, belajar, dan menemukan jalan terang hidupnya?”
Kartini telah lama menjawab kegelisahan itu melalui tindak nyata. Ia tak hanya menulis tentang impian kesetaraan, tapi juga mewujudkannya dengan membangun sekolah untuk anak-anak perempuan. Langkah kecil itu menjadi nyala api yang terus hidup sampai hari ini.
Sekolah Kartini bukan hanya bangunan fisik, melainkan ruang perlawanan terhadap diskriminasi. Ia membuka jalan agar perempuan tak hanya dipandang sebagai pelengkap, tapi sebagai pelaku perubahan. Kini, semangat itu sepatutnya hidup dalam perjuangan kita menghadirkan pendidikan inklusif bagi semua kalangan.
Kita tak perlu menunggu menjadi pejabat tinggi untuk berkontribusi. Setiap guru, relawan, orang tua, dan anak muda bisa memulai langkahnya. Membuka kelas belajar di rumah, mengantarkan anak tetangga ke sekolah, atau mendukung gerakan pendidikan rakyat.
Pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto telah menghadirkan program Sekolah Rakyat, sebagai wujud nyata dari pendidikan yang membumi dan berkeadilan. Sekolah Rakyat bukan pesaing sekolah formal, melainkan pelengkap dan penyambung harapan bagi mereka yang nyaris tertinggal dari sistem.
Sekolah Rakyat memberi ruang belajar yang ramah, murah, dan menyenangkan. Ia hadir di tengah masyarakat sebagai pelita baru, menghidupkan semangat gotong royong dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
“Andai setiap desa punya satu Sekolah Rakyat, andai setiap pemuda bersedia menjadi penggeraknya, mungkin kita tak lagi bicara tentang kesenjangan pendidikan—melainkan tentang cita-cita yang sedang tumbuh di setiap mata anak negeri.”
Pendidikan inklusif adalah investasi jangka panjang untuk membangun bangsa yang adil dan sejahtera. Dengan merangkul perbedaan dan menyatukan harapan, kita sedang menanam benih masa depan yang lebih terang.
Indonesia yang setara bukan mimpi kosong—ia bisa tumbuh dari ruang belajar yang tak mengecualikan siapa pun. Karena setiap anak, sejatinya, adalah harapan bagi bangsa ini.
Rumah Tua, 5 Agustus 2025