Oleh Luhur Susilo
Guru SMPN 1 Sambong, Blora.
Rintik terakhir mengetuk genting seperti bisikan lama,
lagu tua mengalun pelan, “Leaving on a Jet Plane” dari jendela tetangga.
Kampung terpejam dalam dekap sunyi yang panjang,
lampu jalan tinggal berkas cahaya, seperti kenangan menggantung.
Orang-orang telah memeluk hangat obrolan dan cerita,
aku memeluk sepi, memeluk bayangmu yang tak juga reda.
Hujan memang hanya air, tapi bagiku ia rindu yang turun,
setiap tetesnya menyebut namamu tanpa suara.
Udara malam ini lembab oleh kenangan,
dingin oleh jarak yang tak dapat kusentuh.
Dedaunan menampung sisa hujan seperti aku menampung waktu,
waktu yang hening, waktu yang hanya berisi kamu.
Kesunyianku basah oleh rindu yang tak berkesudahan,
bagai lukisan malam yang tak selesai-selesai.
Kadang rintik turun lagi, seperti petikan gitar yang halus,
mengingatkanku pada malam terakhir kita bicara diam-diam.
Malam punya wajah seribu—dan semua tentang kamu,
kadang samar, kadang jelas, tapi selalu kamu.
Rindu ini memanggul malam di pundaknya,
lalu duduk tenang di pelataran hatiku.
Kepada malam aku bisikkan doa paling pelan,
untukmu yang jauh, tapi tak pernah benar-benar pergi.
Di kejauhan, lampu-lampu kecil menari di genangan,
seperti harapan yang masih menyala dalam dingin.
Langit mendung tapi tak gelap,
seperti aku yang sendiri tapi tak hampa.
Ada ketenangan dalam diam,
seperti pelukan yang tertinggal dalam kenangan.
Dan aku tahu, pagi akan tiba dengan matahari yang baru,
dan hidup, meski pelan, tetap berjalan ke arahmu.
Karena meski malam ini penuh kontemplasi dan kelam,
aku adalah doa yang tak lelah memanggil namamu dalam diam.
Mungkin esok kita tidak bertemu,
tapi malam ini, kau begitu dekat, begitu nyata.
Hujan reda, lagu usai, tapi rinduku belum,
dan aku masih menuliskan namamu di kaca yang berembun.
Rumah Tua, 22 April 2025