Oleh Luhur Susilo
(Guru SMPN 1 Sambong dan Anggota Satupena Blora)
Dari rerimbun alas jati,
tembangmu mengalun lirih.
Menerobos sela-sela angin sore,
menyentuh pundakku yang letih
memanggul sebongkah rindu dan kayu-kayu tua.
“Pulanglah, Kakanda,” bisikmu sehalus desir ilalang
“telah kusulamkan tembang klangenan,
menyeka peluh dari pundak hitammu
yang menjeritkan cita-cita di antara rimbun harap.”
Masih kupanggul damba,
masih kulipat rindu dalam nafas dan tawa bayangmu.
Masih kudayung onta tua di jalan setapak sunyi,
berbekal mimpi tentang surga
yang kau janjikan dalam dekapan.
“Bersenandunglah,” lirihmu lagi,
“senandungkan tembang puja
yang meredakan cemas di malam pekat,
yang kau rajut di langit-langit kelam ranjang sepi.”
Peluh ini menetes bagai embun luka,
menjadi kidung di tenggorokan kering.
Meluruh dari bibir pecahku
menjadi syair yang kau nanti,
syair yang lahir dari duka dan cinta.
“Menarilah,” ajakmu
“Ikutlah dalam alun tembang
Wahai satria,
yang membentang janji setia
di altar purba kasih kita.”
Kaki-kaki legamku masih menahan beban harap,
di antara tangan yang mengistirahatkan tubuh letih
berbalut mimpi-mimpi bertabur dupa.
Jari-jemariku akan melentikkan tarian suci,
mengantar jiwa ini menuju ranjang surgamu.
“Bidadariku, kekasihku,
telah sampailah aku di panggung penantian,
yang kau hias dengan kembang-kembang kenanga kesucian.
Inilah tubuh yang kaudamba,
basuhlah dengan lirih air mata kasihmu,
harumkan dengan tembang surga.
Bentangkan kelambu suci
dan baringkan aku dalam haribaanmu.
Biarkan gemulai tarimu
membawaku terbang ke taman abadi —
ke pelukanmu yang lestari.”
Rumah Tua, 2 Mei 2025