Oleh Luhur Susilo
Alumnus IKIP Negeri Yogyakarta 1995 dan Pengurus Satupena Blora
Kabut dini hari menggulung jalan setapak dari Tegalrejo menuju Umbul Jumprit. Nafasku berat, bukan hanya oleh dinginnya udara Temanggung, tapi juga oleh keresahan dalam dada. Petualangan ini bukan semata mendaki gunung, tapi upaya menundukkan ego: menakar batas tubuh dan menata ulang arah hidup yang sering kali melenceng dari niat awal.
“Sudah siap, Bro?” suara Samsul sahabat dari Salem Brebes membuyarkan lamunanku. Aku hanya mengangguk dan mengeratkan ransel lusuh peninggalan semester dua. Di belakang kami, Taufiq menyalakan rokok kretek tembakau srinthil-wuwur-cengkeh-klembak menyan, lalu menatap langit yang mulai memerah. “Ini lebih dari sekadar mencari sarang walet, kan?” tanyanya lirih. Aku tak menjawab. Dalam hati, aku tahu: benar sekali.
Kami bertiga mahasiswa, santri, dan pemuda perantauan. Di sela kuliah dan aktivitas pondok, kami menjajal usaha kecil—dagang sarang burung walet, bukan karena tren semata, tapi karena harapan. Harapan untuk tak meminta uang orang tua lagi. Harapan untuk tetap terlihat terhormat di mata teman dan kekasih.
Mendaki Sindoro bukan keputusan impulsif. Taufiq, asli Ngadirejo, mendapat informasi soal celah bebatuan di sisi puncak utara tempat walet bersarang. Maka, saat akhir tahun 1992 menjelang, kami pun bersiap. Tanpa peta digital, hanya berbekal cerita lisan, semangat muda, dan lagu yang tak berhenti menggema dalam kepala:
“Although we’ve come to the end of the road
Still I can’t let go…”
Jalur Umbul Jumprit seperti labirin spiritual. Langkah kami melewati mata air suci yang dikeramatkan warga, tempat mereka bermeditasi dan berdoa. Aku sempat menoleh, membatin, “Apakah aku telah terlalu sibuk mengejar dunia, sampai lupa menyiram jiwa?”
“Hung,” bisik Samsul saat kami berhenti sejenak, “lu yakin lu kuat sampai puncak?” Aku hanya tersenyum, menatap hutan yang mulai gelap. “Aku nggak tahu. Tapi aku ingin mencoba. Kadang, mencoba itu lebih penting dari sampai.” Ia mengangguk pelan.
Langkah kami lambat namun mantap. Jalur berganti dari perkebunan menjadi hutan lebat, lalu berbatu dan licin. Kabut turun bersama gerimis kecil. Di ketinggian sekitar 2.500 mdpl, kami mulai saling diam. Masing-masing sibuk dengan pikirannya.
“Girl, you know we belong together…
Why do you play with my heart?”
Lagu itu lagi. Mungkin karena terlalu sering diputarnya di radio kampus. Tapi malam itu, bait demi bait terasa seperti doa. Aku teringat dia—seseorang yang tak pernah benar-benar kugenggam, tapi tak juga bisa kulepaskan. Antara cinta dan luka, antara hasrat dan ketidakpastian.
“Apa kamu masih mikirin dia?” tiba-tiba Taufiq bertanya. Aku terdiam. “Iya, mungkin. Tapi sekarang aku lebih ingin berdamai dengan diri sendiri. Mendaki ini semacam upaya berdamai. Menertibkan hati yang kusut.”
Hujan makin deras. Kami berteduh sejenak di balik batu besar. Samsul membuka tas, menawarkan roti dan air. “Jangan pikirin terlalu jauh, Hung. Kita ini anak muda. Salah itu biasa. Tapi yang luar biasa itu kalau kita mau bangkit dan terus jalan.”
Aku menunduk, mengangguk. Dalam rintik hujan, rasa sakit dalam dada perlahan larut. Lagu itu kembali berputar dalam benak, kini lebih seperti teman seperjalanan daripada luka yang meronta.
“It’s unnatural, you belong to me, I belong to you…
And baby, just don’t let me, don’t let me down…”
Kami kembali berjalan. Kabut tebal mengaburkan pandangan. Puncak hanya berjarak 153 meter lagi. Tubuhku gemetar bukan hanya karena dingin, tapi karena rasa syukur—aku masih bertahan. Di tengah medan berat, aku merasa semakin ringan. Beban batin perlahan meleleh bersama peluh.
Saat akhirnya kami mencapai titik tertinggi, tak ada sorak, tak ada selebrasi. Hanya keheningan dan angin dingin yang menyapu wajah. Kami duduk diam. Menatap dunia dari atas. Di antara batu karang itu, tak ada sarang walet. Tapi aku tahu, kami tak gagal.
“Hung, nyesel?” tanya Samsul perlahan. Aku menatap langit yang mulai terang. “Nggak. Kita memang nggak bawa sarang pulang. Tapi kita bawa pelajaran. Tentang batas tubuh, tentang makna sahabat, tentang jalan pulang ke dalam diri sendiri.”
Lagu itu kembali berbisik dalam hati, seperti penutup kisah:
“Come to the end of the road
Still I can’t let go…”
Dan aku sadar: jalan yang sejati bukan selalu yang menguntungkan, tapi yang mengubah. Gunung Sindoro tak memberiku hasil dagang, tapi ia memberiku peta batin. Aku datang sebagai pemuda pencari untung, dan pulang sebagai manusia yang sedikit lebih utuh.
“Right now, I’m just in so much pain, baby…
We should be happy together forever…”
Di bawah langit Sindoro, kutitipkan luka. Kubiarkan masa lalu berakhir. Dan kuajak diriku sendiri menapaki jalan baru. Mungkin belum tahu ke mana, tapi kini lebih tahu siapa aku sebenarnya.
Rumah Tua, 17 Juli 2025