Malam itu, sinar purnama merambat di antara celah-celah dedaunan hutan jati yang lebat. Di sebuah sumur tua yang dikelilingi pohon-pohon besar, yang oleh warga sekitar disebut Sendang Salak, angin malam berhembus pelan membawa aroma khas dari dalam sumur—gabungan aroma asin dan manis yang menyiratkan jejak minyak bumi. Konon, sumur ini bukan sumur biasa. Banyak orang percaya, sumur yang telah ada sejak zaman Belanda ini dihuni oleh sosok gaib, seorang putri yang disebut Putri Sendang Salak atau “Dangsalak”.
Di sekitar sumur itu, ada empat dusun yang paling dekat dengan hutan tersebut: Trembes, Grogol, Bangeran, dan Ngencong. Sumur ini juga diapit oleh empat bukit yang disebut Bukit Kidul, Bukit Lor, Bukit Kulon, dan Bukit Etan. Bagi penduduk di sekitar, sumur tersebut penuh dengan aura magis, meski tak ada yang pernah merasa diganggu oleh kehadiran sang putri. Justru, kepercayaan masyarakat pada keberadaan Putri Sendang Salak membawa ketenangan dan keharmonisan, seperti sosok pelindung yang tak terlihat namun selalu ada di tengah-tengah mereka.
Di tengah malam itu, diiringi suara alam yang syahdu, seorang pemuda bernama Ardi berjalan menyusuri jalan setapak menuju sumur tersebut. Ardi adalah cucu dari seorang dukun yang dihormati di dusun Trembes. Kakeknya kerap menceritakan kisah-kisah tentang sumur Sendang Salak, yang menarik perhatian Ardi sejak kecil. Menurut kakeknya, sumur itu pernah mengalirkan air yang begitu deras hingga harus disumbat dengan “dhok” atau rambut aren untuk menghindari banjir yang bisa menenggelamkan seluruh desa di masa lalu.
Namun, alasan Ardi datang ke sana malam itu bukanlah sekadar untuk mengingat kisah-kisah lama. Sebuah panggilan dalam mimpinya mendorongnya untuk mendatangi Sendang Salak pada malam purnama. Dalam mimpinya, ia melihat seorang wanita berparas cantik dengan tatapan lembut, memakai pakaian seperti putri kerajaan. “Datanglah padaku,” kata sosok itu dengan suara yang mengalir seperti angin malam, “ada sesuatu yang ingin kutitipkan padamu.”
Ardi pun tiba di tepi sumur. Ia melihat bayangan dirinya memantul di air yang tenang, sementara cahaya bulan menerangi sekelilingnya dengan kilau perak. Tanpa terasa, ia bergumam memanggil, “Putri Sendang Salak… apakah kau benar-benar ada di sini?”
Sunyi. Hanya desiran angin dan suara dedaunan yang menari pelan. Tapi kemudian, riak kecil muncul di permukaan air, berputar dan memancarkan sinar yang seakan berpendar. Dari dalam air itu muncul sosok wanita cantik berbalut kebaya putih, wajahnya penuh kelembutan, tapi ada keanggunan yang seolah menegaskan bahwa ia bukanlah sosok manusia biasa.
“Aku adalah Putri Sendang Salak,” katanya dengan suara lembut yang penuh wibawa. Mata Ardi terpaku pada sosok di hadapannya. Wanita itu memiliki kecantikan yang tak biasa, seolah setiap helai rambutnya dan senyumannya terbuat dari cahaya bulan yang memancar lembut.
“Kenapa kau memanggilku?” tanya Ardi, suaranya bergetar antara kagum dan ragu.
Putri Sendang Salak menatapnya dalam, lalu berkata, “Di masa lalu, aku menjaga desa-desa di sekitarku. Sumur ini adalah sumber kehidupan mereka, namun juga bisa menjadi malapetaka. Karena itu, sumber air ini harus dibendung agar tidak meluap. Tetapi sekarang, waktu hampir habis. Sebuah keseimbangan yang harus dijaga, dan aku memintamu untuk melanjutkannya.”
Ardi mengangguk, meskipun ia masih belum sepenuhnya mengerti. “Bagaimana aku bisa melakukannya?”
“Dengan hati dan ketulusanmu. Keseimbangan alam di sini perlu diresapi oleh seseorang yang memiliki hati yang terhubung dengan tempat ini,” jawab Putri. “Bukan aku yang memilihmu, Ardi, tetapi leluhurmu telah menyambungkan tali ini hingga akhirnya kau yang harus meneruskannya.”
Seketika, Ardi merasa seakan-akan tanah tempat ia berpijak dan pepohonan di sekitarnya berbicara kepadanya. Ia merasakan arus energi yang begitu kuat mengalir dari sumur, seolah-olah sumur itu bukan hanya sekadar sumber air, tapi sebuah perwujudan kekuatan alam yang harus dijaga keseimbangannya.
“Aku… aku akan menjaganya,” kata Ardi akhirnya dengan suara yang mantap. Ia tahu bahwa ini adalah panggilan hidupnya, sebuah tanggung jawab besar yang diwariskan dari leluhur untuk menjaga sumber air ini dan desa-desa di sekitarnya.
Putri Sendang Salak tersenyum, dan pandangannya seakan menembus ruang dan waktu. “Terima kasih, Ardi. Saat kau datang ke sini, kau juga telah menguatkan ikatan kita. Selama kau menjaga tempat ini dengan hati yang bersih, aku akan selalu ada untuk melindungi desa-desa ini.”
Kemudian, dengan lembut, sosok Putri Sendang Salak menghilang, memudar ke dalam air sumur yang kembali tenang. Namun, sebelum lenyap sepenuhnya, ia meninggalkan sebuah bunga melati di tepi sumur, sebagai simbol ikatan abadi antara alam dan manusia yang harus dijaga dengan kasih dan keikhlasan.
Ardi mengambil bunga itu dan merasakan aroma melati yang semerbak, membawa ketenangan dan kedamaian. Ia tahu, tugasnya kini bukan hanya menjaga sumur ini dari kerusakan fisik, tetapi juga menjaga keseimbangan spiritual yang telah diwariskan oleh para leluhur.
Malam semakin larut, dan Ardi berjalan pulang dengan hati yang penuh tekad. Cahaya bulan purnama menemani langkahnya, seolah memberi restu untuk tanggung jawab yang kini ia emban. Di kejauhan, suara gemericik air Sendang Salak terdengar lembut, seakan menyambutnya sebagai penjaga baru sumur yang penuh legenda ini.
Sejak malam itu, Ardi merasa kehadiran Putri Sendang Salak di setiap tiupan angin dan gemericik air di sumur tersebut. Setiap kali ia mendengar cerita dari penduduk desa yang datang mengambil air di Sendang Salak, ia tersenyum. Ia tahu, Putri Sendang Salak masih menjaga tempat ini, dan ia, sebagai keturunan yang terpilih, akan terus menjaga amanah ini seumur hidupnya.
Oleh : Melarika Mawar Ningrum
Kreator Cerdas AI Desa Doplang, Kecamatan Jati, Kabupaten Blora