Sebuah Puisi Esai tentang Ledakan Garut
Oleh Gunawan Trihantoro
(Ketua Satupena Kabupaten Blora dan Sekretaris Komunitas Puisi Esai Jawa Tengah)
Ledakan yang diduga dari amunisi menyebabkan belasan orang tewas di kawasan pantai wilayah Kecamatan Cibalong, Kabupaten Garut, Jawa Barat, Senin (12/5/2025). Korban saat ini dibawa ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Pameungpeuk. [1]
Matahari baru saja menyeruak dari selimut kabut,
seperti pisau tumpul yang membelah kelam samar-samar.
Laut Garut Selatan menguapkan asinnya dalam diam,
menyembunyikan kisah-kisah yang tak pernah sampai ke permukaan.
Di bibir pantai, serdadu-serdadu berseragam hijau
menggali lubang-lubang kecil, ritual tanpa doa,
kuburan prematur untuk sesuatu yang seharusnya sudah mati.
“Ini rutinitas,” bisik seorang prajurit,
suaranya retak oleh kebiasaan yang membosankan.
Tangannya, kasar oleh garam dan peluh,
mengusap kaleng amunisi berkarat,
sisa perang yang tak pernah benar-benar pergi,
hantu-hantu besi yang menolak dikubur.
Di kejauhan, Mukin si nelayan tua mengamati dari perahunya,
matanya menyipit menahan silau,
“Mereka menggali lagi,” gumamnya pada angin yang tak peduli.
Laut hanya mendesah, menghempas pantai dengan irama yang tak pernah berubah.
-000-
Pukul 09.30: gemuruh mengoyak sunyi.
Sebelumnya, ada tawa,
beberapa anak nelayan mengintip dari balik pohon kelapa,
ingin melihat “tentara mainan” mereka bekerja.
Lalu dunia berubah warna.
Api melahap angin, membentuk monster raksasa
yang melingkupi langit dalam sekejap.
Serpihan besi beterbangan,
burung-burung besi yang kehilangan sayap,
terbang tak menentu, menusuk daging, tanah, dan air.
Mukin terlempar dari perahunya,
tubuhnya menghantam air yang tiba-tiba menjadi keras.
Di tangannya masih menggenggam jaring,
yang kini berubah menjadi kain kafan kosong.
“Duarrr!” jeritnya, tapi suaranya hilang dalam riuh ledakan.
Di tepian, tubuh seorang prajurit muda tergeletak,
separuh wajahnya masih utuh,
matanya terbuka menatap langit
seperti masih bertanya “kenapa?”
Seragamnya yang hijau kini bernoda merah,
warna yang tak ada dalam buku peraturan.
-000-
RSUD Pameungpeuk menjadi panggung terakhir.
Di ruang dingin yang berbau formalin,
peti-peti berbaris rapi:
- Kolonel Antonius –
“Prajurit teladan” menurut pita di dadanya
Ayah dari bayi yang belum sempat dia gendong - Mayor Anda – Masih menyimpan tiket konser di dompetnya
Pertunjukan yang tak akan pernah dia datangi - Agus –
Penjual kopi keliling
Pagi tadi masih berjanji pada istrinya
“Nanti malam aku bawa ikan banyak” - Iyus – Baru saja meminang kekasihnya
Cincin nikah masih di saku
Sekarang terkubur bersama jasadnya
Sebelas nama. Tiga belas nama.
Angka yang terus berubah
seperti luka yang tak bisa dijahit oleh statistik.
Seorang ibu menggenggam foto bocah lelaki,
kertas itu basah oleh air mata dan hujan:
“Endang… kau janji pulang sebelum hujan.”
Tapi hujan datang, membasahi tanah
yang menolak melupakan.
-000-
Konferensi pers di markas besar.
Jenderal berbicara dengan kalimat-kalimat halus
yang berputar-putar seperti asap:
“Investigasi masih berjalan…
Prosedur sudah diikuti…
Kami turut berduka…”
Seorang jurnalis muda berdiri,
matanya masih menyimpan kemarahan segar:
“Berapa tahun lagi amunisi tua ini akan membunuhi kami?
Apakah warga sipil harus terus menjadi
tanda kurung dalam laporan kematian?”
Ruangan hening.
Jenderal itu membersihkan keringat di dahinya,
seragamnya yang rapi tiba-tiba terlihat sempit.
Di luar, Mukin menatap laut,
“Mereka bicara seperti ombak,” bisiknya,
“Datang dan pergi tanpa pernah menyelesaikan apa-apa.”
-000-
Bulan-bulan berlalu.
Pantai Sagara kembali dipenuhi kehidupan:
Anak-anak berlarian,
mengejar layang-layang yang terbang bebas.
Tapi di antara karang-karang,
serpihan logam masih bersembunyi,
peninggalan yang tak mau pergi.
Di kantor militer,
berkas-berkas investigasi menumpuk,
ditutupi debu seperti amunisi yang mereka musnahkan.
Malam ini, langit Garut masih merah.
Seorang ibu tua duduk di pondoknya,
matanya menatap jauh ke laut:
“Ledakan itu belum berhenti, Nak.
Ia masih bergema di telinga kami
yang tak mau tuli.”
Di kejauhan, suara ombak
terus menghantam pantai,
membawa pulang cerita-cerita
yang tak pernah benar-benar selesai.
Rumah Kayu Cepu, 12 Mei 2025
CATATAN:
[1] Puisi esai ini terinspirasi dari kisah nyata berjudul “Belasan Orang Tewas Akibat Ledakan Amunisi di Pantai Garut” yang dimuat di laman https://jrmedia.id/belasan-orang-tewas-akibat-ledakan-amunisi-di-pantai-garut/.