Oleh Gunawan Trihantoro
(Ketua Satupena Blora dan Sekretaris Kreator Era AI Jawa Tengah)
Di tengah hiruk-pikuk dunia pendidikan yang sibuk mengejar nilai, muncul pendekatan yang menggugah, yakni pendidikan karakter di barak ala Dedi Mulyadi.
Bukan metode konvensional, bukan pula hukuman semata, melainkan ruang belajar kehidupan dalam bentuk yang paling nyata.
Barak yang dirintis Dedi Mulyadi bukan tempat untuk menghukum anak-anak nakal.
Ia menjadi ruang menempa jiwa, menanamkan nilai, dan membangkitkan kesadaran lewat disiplin, kerja keras, dan kasih sayang.
Anak-anak yang masuk ke sana tidak langsung dicap bersalah.
Mereka diperlakukan seperti anak sendiri, dengan cinta yang tegas, bukan kemarahan yang meledak-ledak.
Aktivitas mereka sederhana, seperti bangun subuh, membersihkan lingkungan, mencuci baju sendiri, dan belajar sopan santun.
Namun dari kesederhanaan itu tumbuh kebiasaan tanggung jawab yang selama ini hilang dari rumah dan sekolah.
Pendidikan karakter selama ini sering hanya menjadi jargon kosong di ruang kelas.
Ia hadir di atas kertas, tapi menguap dalam praktik kehidupan nyata anak-anak.
Dedi Mulyadi memberi contoh bahwa karakter dibentuk bukan lewat ceramah panjang, melainkan lewat pembiasaan yang konsisten.
Ia hadir bukan sebagai pejabat, tapi sebagai figur ayah yang mengulurkan tangan kepada mereka yang tersesat.
Di dalam barak, anak belajar bahwa hidup tak bisa seenaknya.
Bahwa kebebasan memiliki batas, dan setiap tindakan membawa konsekuensi.
Ia membangun sistem yang menghidupkan kembali nilai-nilai lama yang mulai punah, seperti menghormati orang tua, mencium tangan guru, dan menyayangi sesama.
Nilai-nilai itu tak cukup diajarkan lewat teori, tapi harus dicontohkan dalam kehidupan.
Banyak pihak memuji pendekatan ini sebagai solusi alternatif kenakalan remaja.
Namun tentu ada juga yang mempertanyakan dari sisi psikologis, hak anak, dan efektivitas jangka panjang.
Namun mari kita jujur, sistem pendidikan kita selama ini terlalu fokus pada angka dan rapor.
Padahal banyak anak tumbuh menjadi pribadi yang pintar secara teori, tapi miskin empati.
Ketika orang tua sibuk dengan gawai dan pekerjaan, barak Dedi hadir sebagai pengganti rumah yang ramah.
Di sana, anak kembali dipeluk, ditegur, dan diarahkan dengan penuh kesabaran.
Ia tak sekadar menyuruh anak mandi atau salat.
Ia ikut bangun subuh, ikut menyapu, dan duduk bersama mendengar curhat mereka.
Itulah pendidikan sejati, kehadiran yang tulus dan keteladanan yang nyata.
Bukan hanya guru yang mengajar, tapi sahabat yang membimbing.
Konsep barak ini sekaligus menyindir sistem pendidikan nasional yang cenderung elitis dan terlalu teoritis.
Mengapa seorang Dedi Mulyadi harus turun tangan sendiri menyelamatkan anak-anak yang tersisih?
Ini menjadi alarm bagi pemerintah, sekolah, dan masyarakat luas.
Anak-anak yang “nakal” bukan untuk dijauhi, tapi justru harus didekati dengan empati.
Dedi menunjukkan bahwa perubahan bukan datang dari seminar mahal atau teori pendidikan mutakhir.
Tapi dari keberanian hadir, menyapa, dan membina dengan ketulusan hati.
Bayangkan jika setiap daerah punya barak pembinaan karakter seperti ini.
Bukan sebagai tempat hukuman, melainkan taman pemulihan bagi jiwa-jiwa muda yang rapuh.
Tentu saja metode ini tidak cocok untuk semua anak dan bukan solusi tunggal.
Namun pendekatan ini memberi kita refleksi penting, sejauh mana kita sungguh-sungguh mendidik, bukan sekadar mengajar?
Barak Dedi Mulyadi membuktikan bahwa anak-anak bisa berubah, selama ada yang benar-benar peduli.
Dan kepedulian itu bukan sekadar kata-kata, tapi tindakan nyata.
Di zaman yang makin individualistik, barak ini menjadi oase moral.
Menjadi ruang praktik pendidikan karakter yang selama ini hilang dari kurikulum dan rumah.
Pendidikan bukan hanya soal prestasi akademik, tapi tentang membentuk manusia seutuhnya, dan Dedi Mulyadi sedang memperjuangkan itu.
Dengan cara yang tak biasa, tapi sangat membekas di hati.
Ia memperlihatkan bahwa mendidik adalah bentuk tertinggi dari mencintai.
Dan barak itu adalah rumah cinta yang dibangun dari ketegasan, kesabaran, dan pengharapan.
Semoga pendekatan ini bukan hanya viral sesaat, tapi menjadi inspirasi nasional.
Sebab mendidik karakter bukan tugas individu, tapi tanggung jawab bersama. (*)