Oleh Luhur Susilo “Mangun Kusumo Jati”
(Guru Bahasa Indonesia SMPN 1 Sambong, Blora)
“Pakne, Parno anakmu besok akan rekreasi. Uang saku terbanyak yang Pakne janjikan tentu sangat ditunggunya. Jangan lupa sehari sebelumnya, Sabtu pagi mesti ambil rapor anakmu di sekolah.” Berita utama istrinya yang menyeruak pagi buta sebelum subuh tiba tadi masih mengiang di telinganya.
Di antara kesekian ratus ribu langkah kaki itu berhenti kemudian, Sepengadah pandangan Parman mulai jelas. Beberapa cabang jati beranting hampir kering menggelayuti dahan berbaur bayangan sekumpulan keping rupiah menantinya. Tiga meteran dari tanah dia berpijak cukup tak terlalu tinggi baginya untuk memanjat. Parang dan kapak sudah terselip di pinggang bagai ksatria wana yang tangguh mendaki nasibnya. Sekelabat ia memanjat pohon jati dicengkeram kuat kemudian tubuh kekarnya di atas dahan teraman baginya memotong cabang kering.
Berkas-berkas cahaya matahari pagi menerobos rerimbuan daun-daun jati yang masih tersisa pada ranting. Udara masih basah saat kegelapan pagi yang kian sirna. ”Nngiing…ngiing..nggiiing…”. Nyamuk-nyamuk nakal terus mengerubuti tubuh kurus yang hitam kuat. Tapak-tapak kaki tertinggal pada tanah liat berselimut embun. Beberapa tanaman liar putus oleh parang di sepanjang laju jalur perambah hutan yang seperti biasa menundukkan belantara jati sejak pagi buta.
Gemerasak suara dedaunan kering yang terinjak langkah kaki Parman beradu kicau burung Kutilang dan Tekukur berkali-kali riang bersahutan. Sesekali burung Pelatuk berkicau sambil mematuk-matuk kulit batang jati di dekat sarang sembari mengundang betina pasangan setianya tuk segera berburu makanan. Kicauan itu semakin meriah bagai celoteh Lek Sumilah, belahan jiwa setianya Parman yang telah menemani di sepanjang usia perkawinannya. Tiga bocah buah hati mereka telah menginjak remaja.
“Kena, kau.” Segahnya mantab. Cabang pertama jatuh tepat di rerimbunan perdu bantaran hulu. Cabang-cabang berikutnya pun berjatuhan menyebelah sejurus lingkar pokok cabang. Parang dan kapak menjatuhi gundukan tanah teraman dari awal panjatan. Sambil lirih bergumam syukur ia menuruni pohon. Segera diraihnya parang tajam kesayangan dan memotong cabang satu setengah meteran. Nyaris seukuran seperti biasa. Cabang dan ranting-ranting tertumpuk pisah dipindai dengan desah napas lega. Masih tiga hingga empat batang lagi yang harus ia tundukkan untuk dua angkut sepeda onthel bututnya.
“Nomplok, Lek ?” tanya Tedjo tiba-tiba membuyarkan lamun buruan Parman.
“Wah smakin tebal saweran bukit Marini-mu. Goyangan pinggulnya tentu makin yahut saja… dan kibasan selendangnya mencengkeram kuat jakunmu, Lek.” Sindirnya
Seperti paham betul Tedjo memahami Parman yang kian gandrung tarian Tayub. Marini sebenarnya seusia keponakannya, anak termuda kakak iparnya. Dasar penari mahir, Marini yang berwajah manis, kulit halusnya putih dan tubuhnya sintal berisi sangat menawan Parman apalagi kalau sudah melenggang ke pentas. Tembang Selendang Biru telah melengking dan kibasan selendang Marini bersemangat riang mengundangnya. Saat itu kemudian Parman sudah pasang tangan lincahnya memotong pasangan sebelumnya di pentas segera memberi ruang padanya beradu lihai dengan Marini.
Gairah Parman pada tarian Tayub Marini tiba-tiba menyamar dan hilang pada batang jati berikut yang harus ia tundukkan. Parang dan kapak telah menemani pingganngya yang mulai merangkaki batang pohon dengan tergesa. Kaki-kakinya kuat merekat pada kulit batang dan tangannya sibuk menggapai dahan untuk mengangkat badannya yang bermandikan keringat.
“Klang klang kling…” bunyi nada telepon genggam terdengar beberapa meter di bawahnya seperti dering panggilan segera polisi hutan telah mengepungnya beberapa pekan silam dan memlesetkan salah satu kakinnya. Panas betul kulit kaki hitamnya menggores potongan tajam ranting jati kering.
“Ha…ha…ha… yang kau panjat bukan Marini, Lek !” ternyata ledekan itu dari suara Tedjo di balik rimbun perdu sebelum terima telepon.
“Sialan kau, Kang ! Kukira dhemit alas yang menangkapku kemarin” tepisnya menyudahi gemetar di dadanya. “Kukira kau sudah ditelan belantara” tambahnya. Tedjo tak menanggapinya karna asyik terima telepon dari anak sulungnya yang beberapa waktu lalu diterima di Gajah Mada pada Fakultas Kehutanan. Beruntung betul Tedjo punya anak lelaki yang cerdas meski putra seorang perambah hutan juga sepertinya. Setidaknya Parman ikut bangga, pada salah satu sanak handai taulan di kampungnya yang bisa kuliah di kampus ternama di kota Yogya.
Ia kembali terjaga pada beberapa hasta gapaian mencapai dahan aman. Angannya pun kembali berkelana pada Pak Guru Susi yang baginya tak terlalu meyakinkan penampilan dalam pandangannya. Ia sering mendapati Guru Susi bercelana komprang hitam tiga perempat dan berkaos oblong putih pudar entah belanja solar, pupuk, sembako, atau bersarung batik gelap kesayangan seputaran gema adzan berkumandang ‘memanggil-manggil’ kehadiran pak guru pada surau depan rumah di seberang jalan. Baginya Guru Susi tidak seperti guru-guru lain di kampungnya yang asyik tampil elegan dengan gawai atau tablet yang sentiasa lekat di tangan. Pulang pergi kerja dengan kereta buatan Jepang. Tidak. Guru Susi hanya punya sepeda motor butut nan jadul andalannya. Itupun warisan Mbah Guru Kakung, ayahnya, yang hanya dicat ulang dan berasesoris kawat penyangga jerigen solar atau kantung sak belanjaan pada tulang jok. Apasih asyiknya ? Sepeda motor jadul bagi Guru Susi dibanding sepeda butut miliknya. Cat sepedanya pun telah usang coklat kuat warna khas besi, tanpa spatbor dan berhias besi preport depan penguat untuk seikat kayu penyeimbang beban balok-balok tanggung yang bertahta di boncengan sepeda. Ah, dia sudah mencapai dahan aman meski diantara geriak lamunan yang menggelora di benaknya.
Parangnya telah mengibas-kibaskan tembang parang di hening belantara yang tiba-tiba penuh suara. Thak thok-thak thok berulang-ulang seperti bunyi palu pengencang kendang Tayub membelah kehampaan kampung. Kibasan-kibasan parang itu bagai selendang biru Marini menawaninya. Marini yang manis cantik dan teguh dalam agemannya itu lebih tepat menurutnya bagi keponakan pujaanya yang kini partikeliran bekerja pada anak usaha perusahaan minyak negara.
Tiga empat serentetan tembang parangnya berganti sisi pohon dan suaran dahan jatuh tak terdengar lagi. Tinggal dua jejak kaki yang meremukkan dedaunan kering yang muncul kemudian pada tanah kering di sekitar pangkal pohon. Nah, Parman telah menuntaskan hajat tundukkannya pada sasaran pohon kelima.
Bergegas ia kumpulkan cabang-cabang seukuran dan beberapa ranting siap mengelabuhi cabang jati yang nanti bersembunyi pada tahta boncengan sepeda. Ikatan pertama kuat sudah bertengger pada sepeda. Ia bersiap mengangkut pulang. Dua roda bergelinjang pada jalan setapak dalam belantara beradu gemeresak daun-daun kering yang terlindas atau dedaunan perdu yang menghalangi pandangannya membelah rimbun belantara hutan. Ia terus melaju tanpa menghiraukan haus di kering tenggorokan.
Sepeda melaju pelan di atas jalan kampung. Batu kerikil menjadi pernak pernik jalan berpuluh tahun perjalanan hidupnya dan jelas mengguncang-guncang badan Parman di atas sadel keras dan pér aus memijit-mijit pantatnya yang tak banyak berdaging.
Tinggal beberapa putaran roda sepeda sampai di pelataran rumah. Parman giat mengayuh. Terbayang di benaknya dingin segar air kendi akan membasahi kerongkongannya yang kering kerontang bagai tanah belantara tahun ini. Begitu segarnya.
“Paak-é !” rem kaki sepeda menghentak sekaligus ia melompat turun. Ia ambil kayu penyangga sepeda yang terselip dalam ikatan. Si sulung Parno keluar dari pintu rumah. Teriakan yang tak begitu sempurna dalam ingatan seperti panggilan “Selamat Siang, Bapak” untuk Pak Guru Susi pada hari ng-Ahad siang datang salah satu lulusan sekolahnya yang melaju pelan di samping motor butut itu dengan penuh hormat dan tawaran membawakan sepasang kaleng solar diesel sawah. Salah satu siswa itu membawa rombongan mahasiswa kehutanan yang menelaah pemetaan hutan jati dan penelitian kawasan hutan jati lindung di Gubuk Payung. Masih terngiang dalam ingatan Parman panggilan itu. Kini suara panggilan akrab itu menarik perhatiannya pada dua carik kertas di tangan Parno begitu memperkering kerongkongannya.
“Surat edaran wisata dan undangan ambil rapor dari sekolah, Pak.” Sergap Parno yang masih bertelanjang dada kurus tanpa sepatu alas kakinya lagi.
“Kok sudah pulang, Le ? tanyanya spontan untuk mengelabui beban kepanikan di kepala yang kian berat.
“Guru-guru rapat penentuan penerima Indonesia Pintar dan penentu kenaikan kelas, Pak.” Jawab Parno begitu polos. Ingat lagi ia pada kealpaan survei sekolah dan data silang dari desa yang mesti ia tanggung di balik beban kedua anak, istri, dan kedua kakek nenek di rumahnya. Tidakkah rumah berdinding papan, lantainya bertanah liat, 14 inchi televisi tua, tak punya hp juga gawai, tak ada motor, tak sempat berkunjung lebih dari sekali ke kerabat luar kota kecuali lebaran, dan ia tetap perambah hutan yang setia. Beberapa ekor kambing Jawa dan ayam saja di kandang. Masihkah kurang kuat alasan untuk Parno tidak layak menerima bantuan beasiswa biarpun hanya masuk sepuluh besar di kelasnya seperti tahun lalu. Gemuruh suara memenuhi kepalanya.
“Le, turunkan kayu-kayu ini, ya. Surat kubaca nanti saja. Bapak harus melansir lagi onggokan kayu yang masih di belantara.” pintanya pada Parno.
“Nggih, Pak” jawab Parno sembari melepas karet ikatan kayu-kayu jati penopang harapannya.
Diraihnya kendi di atas meja dan air dingin segar itu membasahi kerontang kerongkongannya. Parman mendesah syukur. Dari rumah belakang samping dapur dekat kandang melengking suara khas Sumilah istrinya.
“Pakne, Pakne. Kok ndak pulang-pulang ! itu kambing-kambingmu berontak kelaparan.” Gerutu Sumilah
“Mbok dibawa ke hutan skalian cari pakan saat bawa kayumu nanti ! Sarapannya nanti saja di hutan. Ini sudah aku siapkan !” lanjut Sumilah tanpa jeda jawab. Ia sedang kalut dan berkesiap segera ke hutan saja daripada berlama dengar celoteh Sumilah. Dalam pikirnya hanya teringat satu kalimat yang ia sepakati dari Pak Susi. Aku lelaki, setia pada janji. Janji bahagian Parno dapat bersetegar banding teman-teman sekolahnya. Seorang Bapak yang siap bab apa saja bisa cemepak untuk keluarga. Tentang menggaet Marini dari pentas ke kekerabatan dekatnya. Seangkut kayu masih menunggunya di belantara. Ikatan induk kambing masih mengait di tangan kiri, setang sepeda di tangan kanan, dan parang serta kapak menyelip diikat pinggang. Ia menyusuri pengap hidupnya siang itu. Dedaunan jati berluruhan terbawa angin kemarau yang menerpa pepohonan jati. Kakinya memberat langkah yang mesti jejak.
“Paak-é !” panggilan itu mengiang lagi dari Parno sambil tergopoh mengejar Parman.
“Saya yang menggembala dan cari pakan kambing. Pak-é ambil kayu saja, supaya bedug nanti Pak-é sudah siaga di musholla.
Parman tersenyum kecil dan melaju ke belantara. (*)
Blora, 16 April 2026