Oleh Gunawan Trihantoro
Sekretaris Forum Kreator Era AI Jawa Tengah
Perkembangan kecerdasan buatan (AI) telah mengubah banyak hal. Cara kita bekerja, belajar, dan hidup kini bergantung pada teknologi yang terus berevolusi.
Di tengah gelombang perubahan itu, Gen Z menjadi sorotan. Mereka adalah generasi digital yang lahir dan tumbuh bersama internet, media sosial, dan perangkat canggih.
Namun, sekadar tumbuh dalam dunia digital tidak cukup. Gen Z perlu dibekali keterampilan khusus agar mampu menjadi pelaku utama dalam era AI, bukan sekadar penonton.
AI memang membuka banyak peluang baru. Dunia kerja kini membutuhkan talenta yang menguasai data science, machine learning, hingga robotics.
Tetapi AI juga membawa risiko besar. Banyak pekerjaan manusia yang kini bisa digantikan oleh mesin, terutama yang bersifat rutin dan berulang.
Inilah alasan mengapa talenta Gen Z harus dikembangkan secara serius. Mereka harus memiliki nilai tambah yang tak tergantikan oleh teknologi.
Pengembangan ini tidak cukup dengan hanya mengajarkan teknologi. Gen Z juga perlu dilatih berpikir kritis, kreatif, dan adaptif terhadap perubahan.
Di sinilah pendidikan memainkan peran penting. Sayangnya, banyak institusi pendidikan belum siap menghadapi era AI.
Masih banyak sekolah dan kampus yang mengajarkan materi lama dengan cara lama. Sementara dunia berubah begitu cepat di luar tembok kelas.
Kurikulum perlu disesuaikan dengan tantangan zaman. Mata pelajaran seperti coding, desain digital, dan etika teknologi harus menjadi bagian dari pendidikan dasar.
Tak hanya aspek teknis, pendidikan karakter juga penting. AI tidak memiliki empati, moral, dan integritas. Manusia masih dibutuhkan untuk hal-hal ini.
Maka, pendidikan ideal bagi Gen Z adalah kombinasi antara teknologi dan nilai-nilai kemanusiaan. Dua hal ini harus berjalan beriringan.
Selain lembaga pendidikan, peran industri juga sangat krusial. Dunia usaha harus memberi ruang pada Gen Z untuk belajar langsung di lapangan.
Program magang, pelatihan, dan kerja berbasis proyek bisa menjadi wadah yang efektif. Mereka butuh pengalaman, bukan hanya teori.
Pemerintah pun tak boleh tinggal diam. Investasi pada pengembangan sumber daya manusia harus menjadi prioritas utama di tengah revolusi AI.
Pelatihan digital untuk guru, infrastruktur teknologi di daerah, hingga beasiswa untuk bidang sains dan teknologi harus terus diperkuat.
Jangan sampai potensi Gen Z hanya berkembang di kota besar. Anak muda di desa juga punya hak yang sama untuk maju dan bersinar.
Bonus demografi Indonesia akan sia-sia tanpa strategi pengembangan talenta. Kita bisa kalah bersaing jika tidak serius membina generasi muda.
Gen Z sebenarnya punya potensi besar. Mereka cepat belajar, terbiasa multitasking, dan punya semangat kolaboratif yang tinggi.
Namun, tanpa bimbingan yang tepat, potensi itu bisa salah arah. Teknologi bisa membawa kebaikan, tapi juga bisa jadi alat perusak.
Karena itu, Gen Z harus dilatih menggunakan teknologi dengan bijak. AI harus dijadikan alat untuk kebaikan, bukan sekadar hiburan atau alat manipulasi.
Mengembangkan talenta Gen Z bukan tugas satu pihak. Ini adalah kerja bersama antara sekolah, keluarga, industri, dan negara.
Jika semua pihak bersinergi, kita bisa mencetak generasi emas yang tidak hanya cerdas secara digital, tapi juga kuat secara moral dan sosial.
Dengan begitu, Indonesia tak hanya menjadi pasar teknologi asing. Kita bisa menjadi pusat inovasi yang mampu bersaing di tingkat global.
Era AI bukan untuk ditakuti, tapi untuk dihadapi bersama. Dan Gen Z adalah harapan terbesar kita untuk masa depan yang lebih cerah. (*)