Privasi Tak Lagi Pribadi

(Refleksi Edukatif tentang Dampak Negatif Media Sosial)

Oleh Gunawan Trihantoro
Ketua Satupena Kabupaten Blora dan Sekretaris Kreator Era AI Jawa Tengah

Kehidupan digital telah menjelma menjadi panggung yang terbuka lebar. Setiap orang bisa menjadi aktor, sutradara, bahkan penonton bagi dirinya sendiri. Media sosial tidak hanya menghubungkan, tapi juga menggiring kita untuk membuka lembar-lembar kehidupan yang dulu kita simpan rapat.

Kasus viral Siti Jamumall, seorang Tiktoker asal Malaysia yang ditalak suaminya saat siaran langsung, menjadi gambaran nyata bagaimana privasi dapat berubah menjadi tontonan publik. Satu pekan setelah rujuk, kisah rumah tangganya pecah di hadapan ribuan penonton maya.

Peristiwa ini mencerminkan gejala yang makin umum: batas antara ruang pribadi dan ruang publik yang makin kabur. Dalam upaya mencari perhatian atau kejujuran spontan, banyak yang akhirnya membuka hal-hal sensitif ke ruang digital, tanpa menyadari risiko yang menyertainya.

Di balik komentar dukungan, ada ribuan mata yang menghakimi. Media sosial, yang mestinya jadi jembatan empati, kerap menjelma menjadi ruang penghakiman massal. Konflik pribadi pun tak lagi diselesaikan dalam diam, melainkan dibuka dalam kemasan live streaming dan viralitas.

Fenomena ini menandai pergeseran cara berpikir masyarakat digital. Validasi eksternal, berupa likes, komentar, dan views, kini menjadi tolok ukur kebahagiaan. Akibatnya, banyak orang rela mengorbankan rasa aman dan martabatnya demi eksistensi sesaat di dunia maya.

Secara psikologis, paparan berlebihan terhadap perhatian publik bisa berdampak buruk. Ketika kehidupan dijalani sebagai konten, maka luka pun bisa dipertontonkan tanpa sempat disembuhkan. Padahal, tidak semua hal layak dibagikan. Ada batasan yang seharusnya dijaga.

Privasi adalah ruang sakral. Ia melindungi relasi, menjaga harga diri, dan memberi waktu bagi proses pemulihan. Membuka konflik rumah tangga ke publik bukan hanya merusak kepercayaan, tapi juga membuka peluang bagi luka-luka baru yang lebih dalam.

Tentu bukan berarti media sosial tidak boleh digunakan untuk berbagi. Namun, berbagi harus dilakukan dengan kesadaran dan pertimbangan yang matang. Menyampaikan inspirasi berbeda dengan mengumbar aib. Mengajak refleksi berbeda dengan mencari simpati.

Dunia maya bekerja dengan logika instan. Ia cepat lupa, tapi dampaknya bisa abadi bagi pelaku. Apa yang viral hari ini bisa menghantui esok hari. Apa yang kita bagikan kini bisa menjadi alat perundungan di masa depan. Maka, bijaklah dalam mengunggah.

Kisah Siti adalah pengingat bahwa hidup bukan hanya untuk ditonton. Ada hal-hal yang sebaiknya diselesaikan secara personal, dalam ruang sunyi yang penuh penghormatan. Bukan di bawah sorotan kamera yang dingin dan tak punya empati.

Generasi digital perlu dibekali literasi digital yang kuat. Tidak hanya tentang cara menggunakan teknologi, tetapi juga tentang etika, emosi, dan tanggung jawab sosial. Karena dunia maya bukan hanya tempat bermain, tapi juga tempat yang bisa menyakiti diam-diam.

Mari kita rawat kembali batas antara yang pribadi dan yang publik. Jangan biarkan algoritma menggantikan hati nurani. Jangan sampai kisah kita hanya dikenang sebagai konten viral, bukan pelajaran berharga.

Privasi adalah hak. Menjaganya adalah bentuk cinta kepada diri sendiri dan orang terdekat. Sebab di balik layar, yang paling butuh perhatian bukan followers, tapi kebahagiaan yang nyata.

Karena tidak semua kisah layak untuk ditonton, sebagian cukup untuk disembuhkan. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *