Menulis Halus di Era Digital

Menulis Halus di Era Digital

Oleh Gunawan Trihantoro
Sekretaris Kreator Era AI Jawa Tengah dan Ketua Satupena Kabupaten Blora

Di tengah derasnya arus kecanggihan teknologi dan kecerdasan artifisial (AI), keterampilan menulis Latin tegak bersambung, atau yang dulu kita kenal sebagai “menulis halus”, kian tersisih dari ruang-ruang belajar anak. Padahal, di balik lekuk-lekuk huruf yang terhubung itu, tersimpan pelajaran kesabaran, keindahan, dan kedisiplinan yang sangat mendalam.

Kini, anak-anak lebih luwes mengetik di gawai daripada menorehkan huruf dengan tangan. Di sekolah-sekolah pun, pelajaran menulis halus mulai ditinggalkan, dianggap tidak relevan di tengah kebutuhan literasi digital dan penguasaan coding.

Namun, mungkinkah kita telah melupakan bahwa belajar menulis halus bukan sekadar soal estetika, melainkan juga sarana membangun karakter anak? Karena dalam tiap tarikan dan kaitan huruf itu, ada latihan konsentrasi, motorik halus, hingga pembiasaan ketelitian yang sangat fundamental.

Menulis dengan tangan, terutama model tegak bersambung, juga terbukti memberi pengaruh positif terhadap perkembangan kognitif anak. Studi neurosains menunjukkan bahwa aktivitas motorik seperti menulis tangan merangsang konektivitas otak yang lebih kompleks dibanding mengetik.

Sayangnya, perkembangan AI dan digitalisasi perlahan menggeser semua kecepatan dan efisiensi. Mesin kini bisa menuliskan ulang apa pun yang kita ucapkan. AI mampu mengubah suara menjadi teks, dan teks menjadi suara kembali. Dalam logika ini, mengapa anak harus bersusah payah menulis dengan rapi dan bersambung?

Pertanyaan ini tentu bisa dijawab dari sudut pendidikan karakter. Sebab, justru di zaman serba instan ini, kita harus mengajarkan anak untuk sabar dan teliti. Menulis halus melatih anak untuk tidak tergesa-gesa, menghargai proses, dan menikmati keindahan bentuk huruf.

Selain itu, menulis tegak bersambung adalah bagian dari warisan budaya tulis Indonesia. Ia tidak hanya mencerminkan pengaruh barat, tetapi telah menjadi simbol kedisiplinan dan keteraturan dalam sistem pendidikan dasar di negeri ini.

Apabila kita menyerahkannya begitu saja kepada kecepatan teknologi, maka anak-anak kita akan kehilangan kemampuan untuk menulis dengan hati. Tulisan tangan bukan hanya soal hasil, tetapi juga soal jejak emosi dan pemikiran.

Bayangkan betapa berharganya sepucuk surat cinta dari anak kepada orang tuanya yang ditulis dengan tegak bersambung. Atau secarik doa yang mereka tulis sendiri untuk guru atau temannya. Dalam lekuk huruf itu ada cinta, hormat, dan ketulusan yang tidak bisa direplikasi oleh mesin.

Tentu kita tidak harus menolak kehadiran AI. Sebaliknya, AI bisa menjadi mitra untuk membantu proses belajar menulis. Aplikasi pelatihan huruf bisa diperkaya dengan teknologi AI, tetapi tetap berbasis aktivitas manual menulis tangan.

Sekolah dan orang tua perlu menciptakan ruang yang seimbang. Di satu sisi, anak perlu fasih menggunakan perangkat digital. Tapi di sisi lain, mereka juga perlu dibekali ketrampilan menulis tangan yang rapi, indah, dan bermakna.

Di beberapa negara maju, seperti Finlandia dan Jepang, menulis tangan tetap dijaga, bahkan menjadi bagian dari terapi fokus dan emosi. Ini bisa menjadi inspirasi bagi kita agar tidak terjebak dalam euforia digitalisasi yang serba instan.

Menghidupkan kembali tradisi menulis halus di era AI adalah langkah kecil namun signifikan dalam menjaga kemanusiaan. Karena AI bisa meniru tulisan kita, tetapi tidak bisa meniru proses belajar dan perjuangan yang menyertainya.

Menulis halus mengajarkan kita bahwa yang indah itu tidak pernah lahir dari tergesa-gesa. Maka, biarlah tangan-tangan kecil itu tetap mengguratkan huruf demi huruf dengan cinta dan ketekunan. Karena dari situlah mereka belajar menjadi manusia utuh. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *