Oleh Hendriyatmoko
Guru SMK Muda Cepu dan Anggota Satupena Kabupaten Blora
Suara takbir menggema dari segala penjuru Masjidil Haram. Ribuan jemaah dari berbagai penjuru dunia mengangkat tangan, menengadah ke langit, menitikkan air mata di depan Ka’bah. Di antara lautan manusia itu, Heri berdiri tegak, tubuhnya sedikit bergetar karena haru. Jubah putih ihram membalut tubuhnya yang tegap, dan bibirnya gemetar memanjatkan doa.
“Ya Allah… panjangkan umur orang tuaku, berikan rezeki yang halal dan berkah… dan bahagiakan aku bersamanya—bersama Sinta.”
Air matanya jatuh. Bukan karena lelah, tapi karena rindu yang tertahan. Rindu kepada seseorang yang ia cintai dalam diam, dalam sabar yang panjang: Sinta.
Gadis dari Desa Jambuna itu selalu berhasil membuat hati Heri penuh tanya. Kadang datang membawa senyum, lalu pergi tanpa alasan. Kadang bicara panjang lebar, lalu diam berminggu-minggu. Namun, Heri tetap menyayanginya. Dengan sabar. Dengan penuh tanggung jawab terhadap perasaan yang tak pernah ia abaikan.
Sinta, si manja yang pandai membuat orang tertawa dan susah ditebak hatinya, seakan menjadi misteri dalam hidup Heri.
Beberapa bulan sebelum keberangkatan haji…
Rinto dan Kamal, sahabat Heri sejak kecil, sedang duduk bersama Heri di beranda rumah kayunya yang sederhana.
“Kau yakin mau pergi haji sekarang, Ri? Belum nikah, belum pasti juga sama Sinta,” tanya Kamal dengan nada menggoda.
Heri tersenyum tenang. “Justru karena belum pasti itulah aku ingin berdoa langsung di tanah suci. Minta kejelasan.”
“Kalau ternyata doanya nggak seperti yang kau harapkan?” sela Rinto.
Heri menatap langit sore. “Berarti itu bukan jalan terbaikku. Aku siap.”
Kini, di tengah lautan manusia berpakaian putih, Heri kembali menyebut nama itu: Sinta.
Namun, entah dari mana, tiba-tiba ada bisikan yang datang begitu lembut di dalam hatinya. Bukan dari pengeras suara, bukan dari suara sekitarnya, tapi dari ruang batin yang paling sunyi:
“Dia bukan milikmu seutuhnya, Heri. Ia punya jalan sendiri.”
Heri menggigit bibirnya. Matanya memanas. Jantungnya berdebar. Ia ingin menyangkal, tapi hatinya diam. Ia ingin marah, tapi jiwa yang dia bentuk dengan sabar tak mampu membenci.
Beberapa hari setelah pulang dari Tanah Suci…
Heri duduk di depan rumah. Di kejauhan, terlihat Sinta datang bersama sahabatnya, Luna dan Sonia.
Sinta tersenyum. “Selamat datang, Pak Haji,” ujarnya menggoda.
Heri tersenyum kecil. “Terima kasih. Masih sama ya, nggak suka manggil nama lengkap.”
Sinta tertawa. “Kalau panggil Heri terus, nanti baper.”
Heri menatapnya sebentar. Lalu, perlahan berkata, “Aku bawa oleh-oleh doa untukmu, Sin.”
Sinta tampak tersenyum lembut, tapi di balik senyum itu, matanya menyimpan keraguan.
Di malam hari, Heri duduk bersama Jarot, Sopyan, Tutik, dan Vera di balai desa. Obrolan ringan, tawa lepas, dan canda tawa mengisi udara. Tapi hati Heri tetap saja terikat pada satu nama yang kini mulai ia relakan perlahan.
“Gimana kabar Sinta sekarang?” tanya Vera tiba-tiba.
Heri menoleh. “Dia baik. Tapi sepertinya… hatinya bukan di sini.”
Semua terdiam. Lalu Sopyan menepuk bahu Heri.
“Kamu lelaki baik, Her. Kalau bukan dia, pasti ada yang lebih pantas.”
Satu malam, di pelataran masjid desa, Heri melihat Sinta duduk sendiri. Ia menghampiri.
“Kau tahu, Sin,” ujar Heri pelan, “di tanah suci, ada bisikan dalam doaku. Katanya, kau bukan milikku seutuhnya.”
Sinta terdiam. Bibirnya gemetar. “Maaf… aku bingung. Aku sayang kamu, tapi… aku juga takut kehilangan diriku sendiri.”
Heri mengangguk pelan. “Aku tak akan memaksamu. Karena cinta yang sejati… tahu kapan harus melepaskan, bukan hanya menggenggam.”
Epilog
Takbir kembali menggema di malam Idul Adha. Heri berdiri di antara keramaian, namun hatinya lapang. Tak ada lagi sesak. Tak ada lagi tanya yang tak dijawab.
Ia belajar satu hal di Tanah Suci: kadang cinta yang tak dimiliki seutuhnya… justru yang paling tulus karena tidak dipaksa.
Dan malam itu, Heri memandang langit, sambil tersenyum. Ia tahu, meski Sinta bukan miliknya, ia tetap mencintai—tanpa harus memiliki. (*)