Refleksi Spiritual dan Sosial di Bulan Ramadhan (1)

Refleksi Spiritual dan Sosial di Bulan Ramadhan (1)

Sahur di Ujung Doa
Oleh Gunawan Trihantoro
Sekretaris Komunitas Puisi Esai Jawa Tengah

Di meja makan yang tak terlalu penuh,
seorang lelaki duduk dalam diam.
Nasi hangat masih mengepul,
tapi pikirannya lebih panas dari bara di tungku dapur.

Malam ini sahur pertama,
namun bukan dengan suka cita.
Sebab sepekan lalu,
pintu rezeki seolah tertutup rapat,
pekerjaan yang digenggam bertahun-tahun
menghilang dalam satu pengumuman.

Istrinya duduk di seberang,
menyajikan teh tanpa suara,
memandangnya tanpa bertanya,
karena ia tahu:
lelakinya sedang berperang dengan diri sendiri.


Selepas sahur, ia menuju sajadah,
bukan untuk sekadar sujud,
tapi untuk bergumul dengan Tuhan
dalam keheningan yang panjang.

“Ya Allah, aku lelaki yang Engkau beri dua tangan,
tapi malam ini aku tak bisa memberi lebih dari sepiring nasi.
Aku bukan tak percaya rezeki,
hanya saja aku takut terlihat lemah di depan mereka.”

Ia menangis tanpa air mata,
sebab tangisan seorang ayah
adalah yang paling sunyi di dunia.
Anak-anak masih terlelap,
tak tahu bahwa kantong ayahnya lebih kosong
dari piring sahur yang hampir tandas.
Tapi lelaki ini tetap berdiri tegak,
memeluk istri dengan senyum yang ia paksakan.

“Sabar ya, Mas, nanti pasti ada jalan,”
bisik istrinya, lebih lembut dari embun di jendela.
Dan malam itu, ia kembali bersujud,
memohon agar Tuhan membukakan pintu
sebelum lapar di siang hari benar-benar menjadi ujian.


Ramadhan datang membawa ujian,
tapi juga harapan.
Mungkin bukan hari ini,
tapi doa yang menggantung di langit subuh
pasti akan turun dalam bentuk rezeki yang tak terduga.

Lelaki itu menghela napas,
melangkah keluar untuk mencari celah,
sebab meski pekerjaan telah hilang,
ia tak boleh kehilangan iman dan daya.

Maka ia pergi,
menjemput hari,
menjemput rezeki,
dengan perut kosong,
tapi hati yang penuh doa.

Rumah Kayu Cepu, 1 Maret 2025

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *